JAKARTA, sejak masih
bernama Batavia, akrab dengan banjir. Wajar saja, Jakarta merupakan wilayah
dataran rendah seluas 650 km2. Ketinggian tanah diukur di titik nol Tanjung
Priok dari pantai sampai ke kanal banjir berkisar antara 0-10 m di atas
permukaan laut.
Sedangkan dari batas paling selatan wilayah DKI, kanal banjir berkisar antara 5-50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian selatan kanal banjir terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m.
Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya oleh Jan Pieters Z Coen, tahun 1621 kota ini mengalami banjir besar. Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika itu wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora.
Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918. Bahkan, saat itu kompleks Istana Merdeka juga kebanjiran.
Salah satu bencana banjir terparah terjadi pada bulan Februari 1918. Saat itu hampir sebagian besar wilayah terendam air. Daerah yang terparah adalah Gunung Sahari, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng akibat jebolnya bendungan Kali Grogol.
Semakin kompleksnya banjir yang terjadi, penguasa Belanda kemudian membuat Kanal Banjir Barat pada tahun 1922. Namun, kanal ini ternyata tidak mampu menjadi solusi dan hingga Belanda hengkang dari Indonesia, pembangunan KBB belum tuntas.
Pada Januari 1932 lagi-lagi banjir besar melumpuhkan Kota Jakarta. Saat Indonesia telah merdeka, tercatat beberapa banjir besar terjadi di Jakarta, seperti pada tahun 1965, 1976, 1984, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007 dan 2008.
Presiden Soekarno, di tahun-tahun terakhir kekuasaannya, membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Proyek itu dimulai setelah banjir menghantam Jakarta pada 1965. Dibuatlah Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota.
Hingga saat ini, banjir besar masih melanda Jakarta, tak terkecuali Istana Merdeka, seperti yang terjadi kemarin.
Sedangkan dari batas paling selatan wilayah DKI, kanal banjir berkisar antara 5-50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian selatan kanal banjir terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m.
Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya oleh Jan Pieters Z Coen, tahun 1621 kota ini mengalami banjir besar. Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika itu wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora.
Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918. Bahkan, saat itu kompleks Istana Merdeka juga kebanjiran.
Salah satu bencana banjir terparah terjadi pada bulan Februari 1918. Saat itu hampir sebagian besar wilayah terendam air. Daerah yang terparah adalah Gunung Sahari, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng akibat jebolnya bendungan Kali Grogol.
Semakin kompleksnya banjir yang terjadi, penguasa Belanda kemudian membuat Kanal Banjir Barat pada tahun 1922. Namun, kanal ini ternyata tidak mampu menjadi solusi dan hingga Belanda hengkang dari Indonesia, pembangunan KBB belum tuntas.
Pada Januari 1932 lagi-lagi banjir besar melumpuhkan Kota Jakarta. Saat Indonesia telah merdeka, tercatat beberapa banjir besar terjadi di Jakarta, seperti pada tahun 1965, 1976, 1984, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007 dan 2008.
Presiden Soekarno, di tahun-tahun terakhir kekuasaannya, membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Proyek itu dimulai setelah banjir menghantam Jakarta pada 1965. Dibuatlah Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota.
Hingga saat ini, banjir besar masih melanda Jakarta, tak terkecuali Istana Merdeka, seperti yang terjadi kemarin.
Di masa Soekarno antara 1960
dan 1970, banjir juga sempat menggenangi Istana Negara. Akibatnya, aktivitas
kenegaraan terganggu. Setelah Istana kebanjiran pada 1960, pemerintah
mengeluarkan wacana membangun waduk atau kanal di daerah Pluit, Jkt Utara. Namun biayanya dialihkan untuk
membangun Kompleks Gelora Senayan.
Selain itu, Soekarno saat itu memerintahkan membentuk "Komando Proyek Banjir" yang ditugaskan menangani banjir yang sebelumnya dipegang Departemen Pekerjaan Umum (DPU), karena DPU dianggap menghabiskan dana besar dan tidak ada hasilnya.
Setelah dipegang "Komando Proyek Banjir", tahun 1966 pemerintahan Soekarno berhasil menyelesaikan waduk Stya Budi dan Waduk Melati.
Selain itu, Soekarno saat itu memerintahkan membentuk "Komando Proyek Banjir" yang ditugaskan menangani banjir yang sebelumnya dipegang Departemen Pekerjaan Umum (DPU), karena DPU dianggap menghabiskan dana besar dan tidak ada hasilnya.
Setelah dipegang "Komando Proyek Banjir", tahun 1966 pemerintahan Soekarno berhasil menyelesaikan waduk Stya Budi dan Waduk Melati.
Pada banjir besar Jakarta 2013, tak cuma obyek-obyek vital di
Jakarta yang terkena banjir, Istana Presiden pun juga kena banjir. Bahkan
banjir di kompleks Istana mencapai 30 centimeter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) saat itu pun langsung memantau banjir di Istana. SBY tampak menggulung celananya yang berwarna abu-abu, didampingi oleh Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa dan sejumlah staf, Presiden tampak memantau banjir yang menggenangi Wisma Negara.
Juru Bicara Presiden kala itu,Julian Aldrian Pasha dalam pesan singkatnya kepada merdeka.com mengatakan, Presiden SBY tidak mempermasalahkan banjir menggenang hingga Istana.
"Tadi sejam lalu, Bapak Presiden meninjau beberapa titik yang terendam cukup tinggi sekitar 30 cm di sekitar Wisma Negara, yang berada di tengah Istana Merdeka dan Istana Negara," kata Juru Bicara Presiden,Julian Aldrian Pasha dalam pesan singkatnya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) saat itu pun langsung memantau banjir di Istana. SBY tampak menggulung celananya yang berwarna abu-abu, didampingi oleh Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa dan sejumlah staf, Presiden tampak memantau banjir yang menggenangi Wisma Negara.
Juru Bicara Presiden kala itu,Julian Aldrian Pasha dalam pesan singkatnya kepada merdeka.com mengatakan, Presiden SBY tidak mempermasalahkan banjir menggenang hingga Istana.
"Tadi sejam lalu, Bapak Presiden meninjau beberapa titik yang terendam cukup tinggi sekitar 30 cm di sekitar Wisma Negara, yang berada di tengah Istana Merdeka dan Istana Negara," kata Juru Bicara Presiden,Julian Aldrian Pasha dalam pesan singkatnya
Namun demikian, meski kantornya kebanjiran, Presiden SBY tidak mempermasalahkan. Yang penting, menurut SBY rakyat yang juga terkena banjir mendapatkan bantuan.
"Presiden tidak masalah Istana banjir. Yang penting rakyat yang terkena banjir segera mendapat bantuan. Presiden telah menginstruksikan KASAD di Istana Merdeka agar jajaran TNI segera bertindak membantu di daerah yang terkena banjir," tutup Julian.
Peristiwa banjir mengepung Ibu Kota Jakarta hingga ke Istana Presiden menjadi sorotan sejumlah media asing.
Voice of Rusia melaporkan, Kamis (17/1/2013), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menunda pertemuannya dengan Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner di Istana Presiden.
Banjir itu melumpuhkan sejumlah ruas utama jalanan di Jakarta. Air di stasiun kereta bahkan mencapai ketinggian 50 sentimeter. Sedikitnya delapan orang tewas dan 120 ribu lainnya harus mengungsi.
BBC mengabarkan, Gubernur saat itu, Joko Widodo telah menyatakan Jakarta dalam keadaan darurat banjir dari hari ini hingga 27 Januari mendatang. Sekitar sembilan ribu warga sudah mengungsi ke tempat-tempat penampungan.
Surat kabar the Guardian menyebut sedikitnya empat orang tewas dan 20 ribu lainnya harus dievakuasi. Istana Presiden, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Bank Indonesia tetap beroperasi seperti biasa. Sementara Kementerian Perdagangan terpaksa ditutup lantaran listrik mati akibat banjir.
Hujan deras yang mengguyur
ibu kota sejak malam kemarin juga membuat kompleks Istana Kepresidenan
kebanjiran. Genangan air di kantor orang nomor satu di Indonesia itu mencapai
30 cm, Senin (9/2).
Gedung-gedung di kompleks Istana Kepresidenan yang tergenang air yaitu Wisma Negara. Wisma Negara merupakan tempat para tamu negara yang terletak di samping Istana Negara. Meski Jokowi sedang tidak ada, akibat genangan itu, mobil-mobil kepresidenan yang biasa parkir juga dipindah.
Selain itu, genangan air juga terdapat di taman tengah yang berada di antara Istana Merdeka dan gedung Wisma Negara. Air menggenangi bagian dasar patung-patung bersejarah yang ada di kompleks Istana.
Meski banyak genangan air, aktivitas para pegawai tetap berlangsung seperti biasanya. Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan yang menempati gedung Bina Graha masih menerima sejumlah tamu.
Banjir yang terjadi di kompleks Istana Kepresidenan, menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan, permasalahan genangan karena saluran penghubung Jalan Abdul Muis tersumbat. Akibatnya, Jalan Medan Merdeka Utara dan Barat tergenang.
Padahal, biasanya saluran di sekitar Jalan Abdul Muis selalu dibersihkan. Karena banyak warga membuang sampah sembarangan, saluran itu menjadi tersumbat.
Sulitnya memaksimalkan saluran penghubung di Jalan Abdul Muis karena melewati permukiman warga. Setiap kali dibersihkan, penghubung itu beberapa hari kemudian tersumbat kembali.
Sementara Kali Cideng yang menjadi hilir dari saluran drainase di Jalan Medan Merdeka Utara masih bagus.
"Sebenarnya Kali Cidengan-nya sendiri tidak masalah cuma saluran penghubungnya itu. Karena itu kan saluran penghubungnya ada di permukiman warga. Makanya itu harus kita rawat terus menerus,
Gedung-gedung di kompleks Istana Kepresidenan yang tergenang air yaitu Wisma Negara. Wisma Negara merupakan tempat para tamu negara yang terletak di samping Istana Negara. Meski Jokowi sedang tidak ada, akibat genangan itu, mobil-mobil kepresidenan yang biasa parkir juga dipindah.
Selain itu, genangan air juga terdapat di taman tengah yang berada di antara Istana Merdeka dan gedung Wisma Negara. Air menggenangi bagian dasar patung-patung bersejarah yang ada di kompleks Istana.
Meski banyak genangan air, aktivitas para pegawai tetap berlangsung seperti biasanya. Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan yang menempati gedung Bina Graha masih menerima sejumlah tamu.
Banjir yang terjadi di kompleks Istana Kepresidenan, menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan, permasalahan genangan karena saluran penghubung Jalan Abdul Muis tersumbat. Akibatnya, Jalan Medan Merdeka Utara dan Barat tergenang.
Padahal, biasanya saluran di sekitar Jalan Abdul Muis selalu dibersihkan. Karena banyak warga membuang sampah sembarangan, saluran itu menjadi tersumbat.
Sulitnya memaksimalkan saluran penghubung di Jalan Abdul Muis karena melewati permukiman warga. Setiap kali dibersihkan, penghubung itu beberapa hari kemudian tersumbat kembali.
Sementara Kali Cideng yang menjadi hilir dari saluran drainase di Jalan Medan Merdeka Utara masih bagus.
"Sebenarnya Kali Cidengan-nya sendiri tidak masalah cuma saluran penghubungnya itu. Karena itu kan saluran penghubungnya ada di permukiman warga. Makanya itu harus kita rawat terus menerus,
Add caption |
No comments:
Post a Comment